Beranda | Artikel
Mengenal Tingkatan Islam
Minggu, 30 Agustus 2009

Sudah tahu tingkatan Islam?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan apa itu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga perkara ini sendiri adalah Ad Diin yaitu agama Islam itu sendiri. (HR. Muslim no. 102)

 

Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Pada suatu hari, Jibril ‘alaihis salam mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berambut hitam dan berpakaian putih, tidak tampak pada beliau bekas melakukan perjalanan jauh dan tidak ada sahabat pun yang mengenal malaikat Jibril dalam bentuk manusia seperti ini. Kemudian dia mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menyandarkan lututnya pada lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kedua tangannya berada pada paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Jibril ‘alaihis salam memanggil ‘Ya Muhammad’ -sebagaimana orang-orang Arab badui memanggil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menanyakan beberapa perkara. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan apa itu Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga perkara ini sendiri adalah Ad Diin yaitu agama Islam itu sendiri. (HR. Muslim no. 102)

Hadits di atas dikenal dengan hadits Jibril dan induknya hadits. Dari hadits tersebut, para ulama mengatakan bahwa Islam memiliki tiga tingkatan, yaitu: (1) Islam, (2) Iman dan (3) Ihsan; masing-masing tingkatan ini memiliki rukun. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat mengenai ketiga tingkatan tersebut.

Tingkatan Pertama : Islam

Dalam hadits Jibril, dikatakan bahwa Islam adalah (1) mengakui bahwa ‘Tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah kecuali Allah dan mengakui Muhammad adalah utusan-Nya, (2) menegakkan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) menunaikan puasa Ramadhan, dan (5) berhaji ke Baitullah bagi yang mampu. Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa islam memiliki lima rukun.

Yang pertama, seorang muslim harus bersyahadat dengan lisan dan meyakini syahadat tersebut dalam hatinya. Dan perlu diperhatikan bahwa makna kalimat syahadat ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Jika seseorang sudah mengucapkan dan meyakini demikian, maka tidak pantas baginya untuk menjadikan para Nabi, malaikat, para wali dan orang-orang sholih sebagai sesembahan semisal menjadikan mereka sebagai perantara dalam berdo’a. Karena apa saja yang disembah selain Allah adalah sesembahan yang bathil. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (QS. Al Hajj [22] : 62).

Sebagai catatan penting, syahadat tidaklah cukup dengan diam (diucapkan dalam hati), namun harus diucapkan dan diumumkan (ditampakkan) pada orang lain kecuali jika ada alasan yang syar’i sehingga seseorang tidak bisa menampakkan syahadatnya.

Dalam hadits Jibril ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabungkan antara syahadat ‘laa ilaha illallah’ dengan syahadat ‘anna muhammadar rasulullah’ [Nabi Muhammad adalah utusan Allah] dalam satu rukun. Kenapa demikian? Karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan dua hal : (1) ikhlas kepada Allah semata : hal ini terdapat dalam syahadat ‘laa ilaha illallah’; dan (2) mutaba’ah (mengikuti) Rasul : hal ini terdapat dalam syahadat ‘anna muhammadar rasulullah’.

Selain dengan bersyahadat, keislaman seseorang bisa sempurna dengan melaksanakan empat rukun yang lainnya –di mana penjelasan hal ini dapat dilihat dalam berbagai kitab fiqh-.

Namun, perlu diperhatikan bahwa walaupun kelima hal ini disebut rukun, bukan berarti jika salah satu dari rukun Islam ini tidak ditunaikan maka tidak disebut muslim lagi. Karena kadar wajib dalam rukun Islam adalah dengan bersyahadat dan mengerjakan shalat yang diwajibkan (shalat lima waktu). Jika seorang muslim tidak melaksanakan kedua rukun Islam ini, maka pada saat ini baru tidak disebut sebagai muslim.

Tingkatan Kedua : Iman

Iman secara bahasa berarti pembenaran (tashdiq). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan oleh Jibril ‘alaihis salam mengenai iman, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Iman adalah (1) engkau beriman kepada Allah, (2) kepada malaikat-Nya, (3) kepada kitab-kitab-Nya, (4) kepada rasul-rasul-Nya, (5) kepada hari akhir dan (6) beriman kepada takdir yang baik dan buruk.” Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman memiliki enam rukun. Apabila salah satu rukun ini tidak dipenuhi maka tidak disebut orang beriman.

Namun, dalam rukun Iman di dalamnya ada kadar (batasan) wajib di mana keislaman seseorang tidaklah sah (baca : bisa kafir) kecuali dengan memenuhinya.

Batasan wajib dalam beriman kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah adalah Rabb alam semesta, Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta; Allah-lah yang berhak ditujukan ibadah dan bukan selain-Nya; dan Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna yang tidak boleh seseorang mensifati-Nya dengan makhluk-Nya, tidak boleh nama dan sifat tersebut ditolak keseluruhan atau pun sebagiannya setelah datang penjelasan mengenai hal ini.

Batasan wajib dalam beriman kepada malaikat adalah mengimani bahwa Allah memiliki makhluk yang disebut malaikat yang memiliki tugas tertentu, di antaranya adalah ada yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi.

Batasan wajib dalam beriman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab kepada para rasul yang dikehendaki-Nya; kitab tersebut adalah kalam-Nya (firman-Nya); dan di antara kitab-kitab tersebut adalah Al Qur’an dan juga merupakan kalam-Nya (firman-Nya).

Batasan wajib dalam beriman kepada para rasul adalah meyakini dengan yakin (tanpa ragu-ragu) bahwa Allah mengutus rasul kepada hamba-Nya; dan rasul terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, seseorang harus beriman kepadanya dan mengikuti petunjuknya.

Batasan wajib dalam beriman kepada hari akhir adalah meyakini bahwa Allah menjadikan suatu hari di mana manusia akan dihisab (diperhitungkan); mereka akan kembali, akan dibangkitkan dari kubur-kubur mereka, akan bertemu Rabb mereka dan setiap orang akan dibalas; di mana orang yang berbuat baik akan dibalas dengan surga sedangkan orang yang kufur akan dimasukkan dalam neraka.

Batasan wajib dan beriman kepada takdir yang baik dan buruk adalah meyakini bahwa Allah telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi dan Allah telah mencatatnya di Lauhul Mahfuzh; meyakini pula bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi; dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diciptakan-Nya termasuk perbuatan hamba.

Setiap muslim harus memiliki kadar keimanan yang wajib ini. Jika tidak memenuhi kadar keimanan yang wajib ini, maka dia tidak disebut seorang muslim.

Tingkatan Ketiga : Ihsan

Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.

Dalam pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut tingkatan musyahadah yaitu seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bukan melihat zat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat Ihsan.

Tingkatan kedua disebut dengan tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin Allah melihatnya. Dan tingkatan inilah yang banyak dilakukan oleh banyak orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.

Dalam tingkatan ihsan ini ada juga kadar wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi sah. Kadar yang wajib di sini adalah seseorang harus memperbagus amalannya dengan mengikhlaskannya kepada Allah dan harus mencocoki amalan tersebut dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kadar yang disunnahkan (dianjurkan) adalah seseorang beramal pada tingkatan muroqobah atau musyahadah sebagaimana dijelaskan di atas.

Pelajaran Penting

Sesuatu yang perlu diperhatikan mengenai definisi Islam, Iman dan Ihsan. Jika Islam itu disebutkan secara bersendirian, yang dimaksudkan adalah seluruh ajaran agama ini baik keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Contoh ini terdapat pada firman Allah (yang artinya),”Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron [3] : 19). Namun, jika Islam disebutkan bergandengan dengan keimanan (i’tiqod) -sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ini-, maka yang dimaksudkan dengan Islam di sini adalah amal lahiriyah. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah (yang artinya),”Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman“. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah berislam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. (QS. Al Hujuraat [49] : 14)

Begitu juga dengan iman. Jika iman itu disebutkan secara sendirian, maka yang dimaksudkan adalah agama Islam secara kesuluruhan. Namun, jika iman disebut bergandengan dengan Islam (amalan lahiriyah) -sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ini-, maka yang dimaksudkan dengan iman di sini adalah mencakup amal bathin. Hal ini dapat dicontohkan pada firman Allah (yang artinya),”Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh” (QS. An Nisa’ : 57). Maka yang dimaksudkan dengan orang yang beriman di sini adalah orang yang melakukan amalan bathin.

Sedangkan ihsan adalah memperbaiki amalan lahir maupun bathin. Gabungan dari ketiganya disebut dengan Ad Diin yaitu agama Islam itu sendiri.

Allahumanfa’ana bima ‘alamatana, wa ‘alimnaa maa yanfa’una wa zidna ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber Rujukan : (1) Syarhul ‘Arbain An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin; (2) Syarhul ‘Arbain An Nawawiyyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh; (3) Ma’arijul Qobul II, Al Hafizh Al Hakami

Baca Juga:

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com


Artikel asli: https://rumaysho.com/26-mengenal-tingkatan-islam.html